Sabtu, 17 April 2010

PERKEMBANGAN FIQIH PADA MASA SAHABAT DAN TABI'IN

MAKALAH

SEJARAH PERKEMBANGAN FIQIH MASA SAHABAT DAN TABI’IN


Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata kuliah Study Fiqih







Disusun oleh:


Mudrika 07620010












JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2010



BAB I

PENDAHULUAN


    1. Latar Belakang

Ilmu fiqih adalah salah satu disiplin ilmu yang sangat penting kedudukannya dalam kehidupan umat islam. Fiqih termasuk ilmu yang muncul pada masa awal berkembang agama islam. Secara esensial, fiqih sudah ada pada masa Nabi SAW, walaupun belum menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri. Karena Semua persoalan keagamaan yang muncul waktu itu, langsung ditanyakan kepada Nabi SAW. Maka seketika itu solusi permasalahan bisa terobati, dengan bersumber pada Al Qur’an sebagai al wahyu al matludan sunnah sebagai alwahyu ghoiru matlu. Baru sepeninggal Nabi SAW, ilmu fiqh ini mulai muncul, seiring dengan timbulnya permasalahan-permasalahan yang muncul dan membutuhkan sebuah hukum melalui jalan istimbat.

Generasi penerus Nabi Muhammad SAW tidak hanya berhenti pada masa khulafa’urrosyidin, namun masih diteruskan oleh para tabi’in dan ulama’ sholihin hingga sampai pada zaman kita sekarang ini. Perkembangan ilmu fiqih, bisa kita kualifikasikan secara periodik sesuai dengan kesepakatan para ulama. Yaitu ada empat, diantaranya : Pertama adalah masa kemunculan dan pembentuakn dasar-dasar islam, perode ini mencakup masa Nani SAW dan bisa juga disebut sebagai masa turunnya al qur’an atau wahyu. Kedua adalah masa pembangunan dan penyempurnaan, pada periode ini mencakup masa sahabat dan tabi’in hingga pertengahan qurun ke empat hijriyah. Yang ke tiga adalah masa taqlid dan jumud, pada periode ini berkisar antara pertengahan abad ke empat hingga abad ke tiga belas hijriyah. Keempat adalah masa kebangkitan, periode ini berkisar dari abad tiga belas hingga sekarang.


    1. Rumusan Masalah

  1. Bagaimana sejarah perkembangan fiqih pada masa sahabat dan tabi’in?

  2. Bagaimana metode sahabat dan tabi’in dalam mengenal hukum?

  3. Apa saja keistimewaan fiqih pada masa sahabat dan tabi’in?

  4. Apa saja contoh-contoh ijtihad pada masa sahabat dan tabi’in?

    1. Tujuan

  1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan fiqih pada masa sahabat dan tabi’in.

  2. Untuk mengetahui metode sahabat dan tabi’in dalam mengenal hukum.

  3. Untuk mengetahui keistimewaan fiqih pada masa sahabat dan tabi’in.

  4. Untuk mengetahui contoh-contoh ijtihad pada masa sahabat dan tabi’in.



BAB II

PEMBAHASAN


2.1 Pengertian Fiqih

Dilihat dari sudut bahasa, fiqih berasal dari kata faqaha yang berarti “memahami” dan “mengerti”. Sedangkan menurut istilah syar’I, ilmu fiqih dimaksudkan sebagai ilmu yang berbicara tentang hukum-hukum syar’i amali (praktis) yang penetapannya diupayakan melalui pemahaman yang mendalam terhadap dalil-dalil yang terperinci.

Secara definitif, fiqih berarti ilmu tentang hokum-hukum syar’i yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafsili. Dalam definisi ini fiqih diibaratkan dengan ilmu karena fiqih itu tidak sama dengan ilmu seperti disebutkan diatas, fiqih itu bersifat dzanni. Fiqih adalah apa yang dapat dicapai oleh mujtahid dengan dzannya, sedangkan ilmu tidak bersifat dzanni seperti fiqih. Namun karena dzanni ini kuat, maka ia mendekati kepada ilmu. Karenanya ilmu definisi ini ilmu digunakan juga untuk fiqih.

2.2 Sejarah pertumbuhan fiqih Islam

Pertumbuhan fiqih atau Hukum Islam dari awal sampai sekarang dapat dibedakan kepada beberapa periode, seperti dibawah ini:

  1. Periode Rasulullah

Yaitu periode insya’ dan takwin (pertumbuhan dan pembentukan) yang berlangsung selama 22 tahun dan beberapa bulan, yaitu terhitung sejak dari kebangkitan Rasulullah tahun 610 M sampai dengan kewafatan beliau pada tahun 632 M.

Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah. Oleh karenanya, periode Madinah ini disebut juga oleh ulama fiqh sebagai periode revolusi sosial dan politik.

  1. Periode sahabat

Yaitu periode tafsir dan takmil (penjelasan dan penyempurnaan) yang berlangsung selama 90 tahun kurang lebihnya, yaitu terhitung mulai kewafatan Rasulullah pada tahun 11 H sampai dengan akhir abad pertama Hijriah (101 H atau 632-720 M).

  1. Periode Tadwin

Yaitu periode pembukuan dan munculnya para imam mujtahid, dan zaman perkembangan serta kedaewasaan hukum, yang berlangsung selama 250 tahun, yaitu terhitung mulai tahun 100-350 H (720-961 M).

  1. Periode Taqlid

Yaitu periode kebekuan dan statis yang berlangsung mulai pertengahan abad 4 H (351 H) dan hanya Allah yang mengetahui kapan berakhirnya periode ini.

    1. Sejarah Perkembangan Fiqih pada Masa Sahabat dan Tabi’in

      1. Masa Sahabat (Khulafaur Rasyidin)

Masa mulai dari periode khulafaur Rasyidin dan sahabat-sahabat yang senior , hingga lahirnya Imam Madzhab yaitu dari tahun 11-132 H. Ini meliputi periode khulafaur Rasyidin (11-40 H = 632-661 M).

Pada masa ini daerah kekuasaan Islam semakin luas, meliputi beberapa daerah di luar semenanjung Arabia, seperti Mesir, Syria, Iran (Persia) dan Iraq. Dan bersamaan dengan itu pula, agama Islam berkembang dengan pesat mengikuti perkembangan daerah tersebut.

Di periode sahabat ini, kaum muslimin telah memiliki rujukan hukum syari’at yang sempurna berupa Al-qur’an dan Hadits Rasul. Kemudian dilengkapi dengan ijma’ dan qiyas, diperkaya dengan adat istiadat dan peraturan-peraturan berbagai daerah yang bernaung dibawah naungan Islam. Dapat kita tegaskan bahwa di zaman khulafaur Rasyidin lengkaplah dalil-dalil tasyri Islami (dasar-dasar fiqih Islam) yang empat, yaitu: Al-Kitab, As Sunnah, Al-Qiyas atau ijtihad, atau ra’yu dan Ijma’ yang bersandar pada Al-Kitab, atau As-Sunnah, atau Qiyas(Djafar, 1992).

Sahabat-sahabat besar dalam periode ini menafsirkan nash-nash hukum dari Al Qur’an maupun dari Al Hadits, yang kemudian menjadi pegangan untuk menafsirkan dan menjelaskan nash-nash itu. Selain itu para sahabat besar memberi pula fatwa-fatwa dalam berbagai masalah besar memberi pula fatwa-fatwa dalam berbagai masalah terhadap kejadian-kejadian yang tidak ada nashnya yang jelas mengenai hal itu, yang kemudian menjadi dasar ijtihad(Asshiddieqi, 1999)..

  1. Metode Dalam Mengenal Hukum

Para Khulafaur Rasyidin dalam menghadap suatu masalah atau berbagai masalah mereka lebih dahulu mencari nashnya dari Al Quran atau Sunnah, kalau mereka tidak menemukan dalam Al Quran dan Sunnah mereka mengadakan pertemuan dengan fuqoha sahabat untuk meminta pendapat mereka. Apabila mereka telah sepakati suatu pendapat, maka mereka menetapkan pendapat itu sebagai suatu keputusan. Inilah yang disebut ijma’ (Djafar, 1992).

Untuk menyelesaikan persoalan-persoalan baru para sahabat kembali kepada Alqur’an dan Sunnah Nabi. Para sahabat banyak yang hafal al-Qur’an, kendati pernah timbul keresahan ketika banyak yang gugur ketika menghadapi peperangan. Karenanya kembali kepada al-Qur’an itu mudah. Hadits memang diriwayatkan dan dihafal. Tetapi nasib hadits tidak sebagus al-Qur’an karena perhatian mereka lebih terpusat kepada al-Qur’an. Disamping dihafal, al-Qur’an juga ditulis. Namun demikian, sumber hukum Islam dimasa ini adalah al-Qur’an dan hadits. Berdasar kedua sumber hukum itulah para kahlifah dan sahabat berijtihad dengan menggunakan akal pikiran.

Pada umumnya dalam memutuskan hukum, sahabat tidak sendirian, tetapi bertanya terlebih dahulu kepada sahabat lain, takut kalau salah. Sikap ini menunjukkan bahwa penafsiran terhadap al-Qur’an bukan hak perogratif sahabat. Selanjutanya keputusan diambil dari hasil consensus, yang lazim disebut ijma’. Melihat luasnya kekuasaan Islam, tetapi kesepakatan beberapa pemuka Islam yang dipandang mewakili keseluruhan.

Pada awal masa sahabat ini , yaitu pada masa kholifah Abu Bakar dan masa kholifah Umar, para sahabat dengan cara bersama-bersama menetapkan hukum terhadap sesuatu yang tidak ada nashnya. Hukum yang di keluarkan oleh para sahabat dengan cara bersama-sama ini di sebut sebagai ijma’ sahabat.

Kholifah Umara pun berbuat demikian, yaitu apabila sulit baginya mendapatkan hukum dala al-qur’an dan as-sunnah, amka beliau memperhatikan apakah telah ada keputusan-keputusan terhadap masal itu. Jika Abu Bakar mendapatkan suatu keputusan hukum, maka Umar memutuskan dengan hukum itu, dan kalau tidak maka beliau memanggil pemuka-pemuka kaum muslimin, apabila sepakat tentang hukum tersebut, maka belau memeberikan keputusan dengan hukum yang telah di sepakati tersebut.

Metode yang digunakan pada masa sahabat dapat ditempuh melalui beberapa cara diantaranya :

  1. Dengan semata pemahaman lafaz yaitu memahami maksud yang terkandung dalam lahir lafaz. Umpamanya bagaimana hokum membakar harta anak yatim. Ketentuan yang jelas dalamm alquran hanya larangan memakan harta anak yatim. Ketentuan jelas dalam alquran hanya larangan memakan harta anak yatim secara aniaya, sedangkan hukum membakarnya tidak ada. Karena semua orang itu tahu bahwa membakar dan memakan harta itu sama dalam hal mengurangi atau menghilangkan harta anak yatim, maka keduanya juga sama hukumnya yaitu haram. Cara ini kemudian disebut penggunaan metode mafhum.

  2. Dengan cara memahami alasan atau illat yang terdapat dalam suatu kasus (kejadian) yang baru, kemudian menghubungkannya kepada dalil nash yang memiliki alasan atau illat yang sama dengan kasus tersebut. Cara ini kemudian disebut metode qiyas.

  1. Keistimewaan Fiqih Pada Masa Khulafaur Rasyidin:

Pada masa Sahabat merupakan masa perkembangan fiqih yang diistilahkan sebagai masa muda remaja yang dimulai dari periode Khulafaur Rasyidin dan sahabat-sahabat senior hingga lahirnya imam mazhab dari tahun 11-132 H. Meliputi periode Khulafaur Rasyidin (11-40 H = 632-661 M) dan periode Umayyah (40-132 H = 661-750 M).

Ada 3 keistimewaan yang menonjol pada masa Khulafaur Rasyidin, yaitu:

a. Kodifikasi ayat-ayat al-Qur’an serta menyebarkannya yang dimaksudkan untuk mempersatukan umat Islam dalam satu wajah tentang bacaan al-Qur’an agar tidak ada perbedaan yang berakibat perpecahan.

b. Pertumbuhan tasyri’ dengan ra’yu sebagai motivasi besar terhadap para fuqaha untuk menggunakan rasio sebagai sumber ketiga yaitu qiyas.

c. Pengaturan peradilan.

Setelah masa Khulafaur Rasyidin kemudian diganti dengan masa Dinasti Umayyah, berkembanglah Ahlul Hadist disamping Ahlu Ra’yi. Bahkan perbedaan pendapat antara 2 kelompok ini semakin tajam pada dinasti Abbasiyah (132-656 H) dan kian bertambah subur dan berkembang dengan baik serta menjadi gerakan ilmiah yang berpengaruh luas yang kemudian melahirkan mazhab-mazhab fiqhi dalam Islam

Keistimewaan pada periode Khulafaur Rasyidin bahwa fiqih pada masa ini muncul sesuai dengan perjalannya waktu. Dalam artian, kapan ada suatu permasalahan yang tidak terdapat di dalam Nash, maka para mujtahidin berusaha menggali hukumnya dari al qur’an dan sunnah.

Dalam masa ini terjadi pengumpulan al qur’an dan menjadikannya dalam satu mushaf. Hal ini terjadi karena untuk menghindari perpecahan diantara umat islam yang sudah mulai merambah ke seluruh tanah arab.

Dalam masa ini juga belum ada periwayatan hadits, kecuali jika ada sebuah kebutuhan untuk mengetahui suatu hukum. Di masa ini juga telah menghadirkan sumber hukum baru yaitu ijma’. Dan ini banyak sekali timbul permasalahan yang merujuk pada ijma’.

Adapun peninggalan-peninggalan masa sahabat yang ada hubungannyadengan fiqih ialah:

  1. Penjelasan-penjelasan yang bersifat yuridis terhadap nash-nash hukum al-qur’an dan as-sunah. Penjelasan-penjelasan yang demikian iti terjadi, ialah ketika sahabat membahas nash-nash hukum untuk di terapkan kepada kejadian-kejadian lalu timbul pendapat-pendapat tentang pengertian dan maksud sebenarnya dari nash-nash. Dalam melahirkan pendapat-pendapat itu mereka bersandar pada bakat serta kemampuan mereka dalam bidang bahasa , pada bakat serta kemampuan mereka dalam penetapan hukum dan pada pengetahuan mereka, tentang hikmah diturunkannya syari’at serta sebab –sebab turunnya al;qur’andan di datangkannya al-hadits.

Dari kumpulan pendapat-pendapat itu terbentuklah syarah yang bersifat yuridis terhadap nash-nash hukum, yang syarah itu dianggap sebagai landasan terpercaya dalam menafsirkan nash-nash tersebut dan untuk menjelaskan keumumannya dan nash serta cara-cara penerapannya.

  1. Fatwa-fatwa hasil ijtihad yang di berikan oleh tokoh-tokoh sahabat, terhadap kejadian-kejadian yang tidak ada nashnya. Cara mujtahid dikalangan sahabat itu apabila tidak mendapatkan nash dalan al-qur’an atau as-sunah tentang hukum sesuatu kejadian yang diajukan. Mereka berijtihad untuk menemukan hukum dengan berbagai jalan istinbath.


  1. Contoh contoh ijtihad yang dilakukan pada masa sahabat:

Diantara beberapa contoh ijtihad yang dilakukan oleh sahabat, antara lain:

  1. Memerangi orang yang tidak mau membayar zakat

Diriwayatkan, Abu Bakar sebagai Khalifah pernah memerangi orang yang menolak membayar zakat. Umar bin al-Khattab menegurnya dengan berkata, “ Saya pernah disuruh Rasulullah memerangi orang sampai mereka mengucap la ilaha illa Allah. Kalau mereka sudah mengucapkannya, Allah menjaga harta dan darahnya, kecuali dengan “hak”nya. Semua urusan ditangan Tuhan”. Abu bakar menyahut, “ Demi Allah, sungguh saya akan memerangi siapa saja yang membedakan sholat dengan zakat. Sebab zakat termasuk “hak”nya atas harta.

  1. Ahli waris

Pada zaman Umar Bin Khattab terdapat serombongan ahli waris yang terdiri dari suami(1/2) ibu(1,6) dan tiga orang saudara seibu semuanya sesuai dngan ketentuan Al Qur’aan. Kebetulan dalam rombongan itu ada pula saudara laki-laki kandung yang berdasarkan hadits nabi adalah “ahli waris sisa harta”. Karena harta sudah terbagi habis maka saudara kandung tidak dapat bagian apa-apa. Tidak dapatnya saudara kandung, sedangkan saudara seibu mendapat, tentu tidak enak dirasakannya. Dalam hal ini umar menetapkan bahwa saudara kandung bergabung dengan saudara seibu dalam mengambil hak 1/3 harta yaitu hak saudara seibu. Hak istri atas peninggalan mendiang suaminya dijelaskan secara pasti dalam Al Qur’an Surat An Nisa 12 yaitu ¼ bila suami tidak meninggalkan anak dan 1/8 bila suami meninggalkan anak. Istri ini tidak mendapat hak apa-apa bila sebelum suami mati istri sudah di cerai terlebih dahulu.

  1. Hukuman diyat karena pengampunan salah seorang Wali

Ketika haji wada’ Nabi menyuruh pilih keluarga korban dimaksud, qishas atau denda bagi pembunuh (pembunuh disengaja). Ini sesuai firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 178.

                                         


Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih”

  1. Pernikahan seorang wanita yang sedang dalam ‘iddah

Tentang kasus semacam ini terdapat dalam sunnah maupun Alqur’an. Ali ra. dalam menjawab masalah ini berpegang pada prinsip umum, tidak ada “larangan abadi”. Maka, cukuplah diberi hukuman fisik dan perceraian, serta “iddah ganda”. Sementara Umar ra. dalam mengambil sikap keras itu karena menutup pintu kesalahan yang sama bagi orang lain.

Tentang iddah wanita yang kematian suami disebutkan oleh Allah secara pasti dalam Surat Al-Baqarah ayat 234 yaitu 4 bulan 10 hari:

                           

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.


Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka[147] menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.


      1. Masa Tabi’in

Pada masa tabi'in, tabi'-tabi'in dan para imam mujtahid, di sekitar abad II dan III Hijriyah wilayah kekuasaan Islam telah menjadi semakin luas, sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragam pula situasi dan kondisinya serta adat istiadatnya. Banyak diantara para ulama yang bertebaran di daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah itu yang memeluk agama Islam. Dengan semakin tersebarnya agama Islam di kalangan penduduk dari berbagai daerah tersebut, menjadikan semakin banyak persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak didapati ketetapan hukumnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Untuk itu para ulama yang tinggal di berbagai daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya.

Periode ini disebut juga periode pembinaan dan pembukuan hukum islam. Pada masa ini fiqih Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat sekali. Penulisan dan pembukuan hukum Islam dilakukan dengan intensif, baik berupa penulisan hadits-hadits nabi, fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in, tafsir al-Qur’an, kumpulan pendapat imam-imam fiqih, dan penyususnan ushul fiqih.


  1. Metode tabi’in dalam mengenal hukum

Pada periode ini ialah, “Menerima hukum yang dikumpulkan oleh seseorang mujtahid dan memandang pendapat mereka seolah-olah nash syara’ sendiri.” Jadi taqlid itu menerima saja pendapat seseorang mujtahid sebagai nash hukum syara’. Dalam periode taqlid ini, kegiatan para ulama’ Islam banyak mempertahankan ide dan mazhabnya masing-masing.

Sebelumnya perlu ditegaskan bahwa setiap mazhab fiqh mempunyai ushul fiqh. Hanya saja, metode penulisan mereka berbeda. Metode penulisan ushul fiqh yang ada yaitu;

  1. Metode mutakallimin

Metode penulisan ushul fiqh ini memakai pendekatan logika (mantiqy), teoretik (furudl nadzariyyah) dalam merumuskan kaidah, tanpa mengaitkannya dengan furu’. Tujuan mereka adalah mendapatkan kaidah yang memiliki justifikasi kuat. Kaidah ushul yang dihasilkan metode ini memiliki kecenderungan mengatur furu’ (hakimah), lebih kuat dalam tahqiq al masail dan tamhish al khilafat. Metode ini jauh dari ta’asshub, karena memberikan istidlal aqly porsi yang sangat besar dalam perumusan. Hal ini bisa dilihat pada Imam al Haramain yang kadang berseberangan dengan ulma lain. Dianut antara lain oleh; Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanabilah dan Syiah.

(2) Metode Fuqaha

Tidak diperdebatkan bahwa Abu Hanifah memiliki kaidah ushul yang beliau gunakan dalam istinbath. Hal ini terlihat dari manhaj beliau; mengambil ijma’ shahabat, jika terjadi perbedaan memilih salah satu dan tidak keluar dari pendapat yang ada, beliau tidak menilai pendapat tabiin sebagai hujjah. Namun, karena tidak meninggalkan kaidah tersebut dalam bentuk tertulis, pengikut beliau mengumpulkan masail/furu’ fiqhiyyah, mengelompokkan furu’ yang memiliki keserupaan dan menyimpulkan kaidah ushul darinya. Metode ini dianut mazhab Hanafiyyah. Sering pula dipahami sebagai takhrij al ushul min al furu’. Metode ini adalah kebalikan dari metode mutakallimin.




  1. Keistimewaan pada masa tabi’in

Berkembangnya beberapa pusat studi Islam, menurut Manna' al-Qatthan telah melahirkan dua tradisi besar dalam sejarah pemikiran Islam. Keduanya adalah tradisi pemikiran Ahl al-Ra'y dan tradisi pemikiran Ahl al-Hadits. Menurutnya, mereka yang tergolong Ahl al-Ra'y dalam menggali ajaran Islam banyak menggunakan rasio (akal). Sedangkan mereka yang tergolong Ahl al-Hadits cenderung memarjinalkan peranan akal dan lebih mengedapankan teks-teks suci dalam pengambilan keputusan agama (hlm. 289-290).

  • Fiqih sudah sampai pada titik sempurna pada masa ini.

  • Pada masa ini muncul ulam’-ulama’ besar, fuqoha’ dan ahli ilmu yang lain.

  • Madzhab fiqih pada masa ini sudah berkembang dan yang paling masyhur adalah 4 madzhab.

Telah dibukukan ilmu-ilmu penting dalam islam. Diantaranya, dalam madzhab abu hanifah : kutub dzohir al Riwayah yang diriwayatkan dari oleh Muhammad bin al Hasan dari Abu Yusuf dari imam Abu Hanifah, kemudian dikumpulkan menjadi kitab al Kafi oleh al Hakim as Syahid. Dalam madzhab imam Malik : al Mudawwanah yang diriwayatkan oleh Sahnun dari Ibnu Qosim dari imam Malik. Dalam madzhab imam Syafi’i kitab al Um yang diimlakkan oleh imam kepada muridnya di Mesir. Dalam madzhab imam Ahmad kitab al Jami’ al Kabir yang dikarang oleh Abu Bakar al Khollal setelah mengumpulkannya dari pere murid imam Ahmad.

Peristiwa pemberlakukan hukum di kawasan pemerintahan Islam tidak hanya terjadi di daerah kekuasaan Daulah Utsmaniyyah saja. Di Mesir, tarik menarik antara penerapan hukum Islam dengan penerapan hukum positif (barat) juga terjadi. Dan hukum Islam pun akhirnya harus puas berkiprah hanya pada tingkat wacana. Sedangkan dalam aplikasinya, pemerintah lebih memilih untuk menerapkan sistem hukum positif. Bahkan, hukum positif yang diberlakukan di Mesir tidak hanya menyangkut masalah pidana, namun dalam masalah perdata juga diterapkan.

  1. Sejarah pada periode kemunduran

Periode ini lahir pada abad ke 4 H (tahun ke 12 M), yang berarti sebagai penutupan periode ijtihad atau periode tadwin (pembukuan). Mula-mula masa kemunduran dalam bidang kebudayaan Islam, kemudian berhentilah perkembangan hukum Islam atau Fiqih Islam. Pada umumnya, ulama yang berada di masa itu sudah lemah kemauannya untuk mencapai tingkat mujtahid mutlak sebagiamana dilakukan oleh para pendahulu mereka pada kejayaan seperti disebut diatas.

Situasi kenegaraan yang barada dalam konflik, tegang, dan lain sebagainya itu ternyata sangat berpengaruh kepada kegairahan ulama yang mengkaji ajaran Islam langsung dari sumber aslinya Alqur’an dan Hadits. Mereka telah puas hanya dengan mengikuti pendapat-pendapat yang telah ada, dan meningkatkan kepada tingkat tersebut kedalam madzhab-madzhab fiqhiyah. Sikap seperti inilah yang mengantarkan Dunia Islam kea lam taklid, kaum Muslimin terperangkap ke alam pikiran yang jumud dan statis.

Disamping kondisi sosialpolitik tersebut, beberapa faktor lain berikut ini kelihatannya ikut mendorong lahrnya sikap taklid dan kemunduran. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Efek samping dari pembukuan fiqih pada periode sebelumnya

Dengan adanya kitab-kitab fiqih yang ditulis oleh ulama-ulama sebelumnya, baik untuk persoalan-persoalan yang benar-benar terjadi atau diprediksi akan terjadi, memudahkan umat Islam pada periode ini merujuk semua persoalan hukumnya kepada kitab-kitab yang ada itu.

  1. Fanatisme mazhab yang sempit

Pengikut imam mujtahid terdahulu itu berusaha membela kebenaran pendapat mazhabnya masing-masing dengan berbagai cara. Mungkin akibat pengaruh arus keidakstbilan kehidupan politik, dimana frkuensi sikap curiga dan rasa tidak senang antara seseorang atau antar kelompoknya dengan mnecari-cari argumentasinya yang pada umumnya apologetic serta menyanjung imam dan mazhabnya dengan sikap emosinalitas yang tinggi. Akibatnya, mereka tenggelam dalam suasana chauvinism yang tinggi, jauh dari sikap rasionalitas ilmiah dan terpaling dari sumber-sumber hukum yang sesungguhnya, Alqur’an dan Hadits.

  1. Pengangkatan hakim-hakim muqallid

Kehidupan taklid pada periode semakin subur ketika pihak penguasa mengangkat para hakim dari orang-orang yang bertklid. Bila pada periode sebelumnya para penguasa memilih dan mengangkat hakim-hakim dari kalangan mujtahid dan mereka diberi kebebasan berijtihad sendiri, hasil ijtihadnya sering menjadi sasaran kritikan pedas dari penganut-penganut mazhab tertentu, termasuk penguasa.

Umat islam menyadari kemunduran dan kelemahan mereka yang sudah berlangsung semakin lama itu. Gerakan pembaharuan ini cukup berpengaruh terhadap perkembangan fiqih. Banyak diantara pembaharuan itu juga adalah ulama’-ulama’ yang berperan dalam perkembangan fiqih itu sendiri. Mereka berseru agar umat Islam meningglakan taklid dan kembali kepada Alqur’an dan hadits dan mengikuti jejak para ulama’ terdahulu. Mereka inilah yang disebut sebagai golongan salaf. Periode ini ditandai dengan disusunnya kitab Majallat al-Ahkam al-‘Adiyyat di akhir abad ke-13 H, mulai 1285 H sampai tahun 1293 H (1869-1876 M).


  1. Contoh-contoh ijtihad yang dilakukan

  1. Perluasan daerah dari suatu Negara akan berdampak semakin luas pada jumlah dan bobot persoalan yang dihadapi, baik menyangkut sosial politik ketatanegaraan maupun hal-hal yang perlu diselesaikan oleh pemimpin dan para ulam’nya. Mereka, terutama ulama’-ulama’ dituntut untuk berfatwa dalam menghadapi persoalan-persoalan hukum yang frekuensinya selalu bertambah dari masa ke masa. Keadaan ini menentang mereka untuk menafsirkan ayat-ayat Alqur’an atau hadits-hadits nabi berdasarkan penalaran ilmiah yang intens (ijtihad).

DAFTAR PUSTAKA


Bakry, Nazar. 1993. Fiqih Dan Ushul Fiqih. Jakarta: Rajawali

Koto, Alaiddin Haji. 2006. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Mudjib, Abdul. 1982. Pengantar Ilmu Fiqih. Malang: Biro Ilmiah Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel.

Zainuddin, Ali. 2006. Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika

Zuhri, Muhammad. 1996. Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada


1 komentar:

  1. bagus..ckup rinci,bisa jdi referensi nie...
    izn yaaa..

    BalasHapus

bagi yang uda baca blogku ni mohon dikomentari ya...............